Jumat, 08 April 2011

Fenomena Gehu Pedas

     Menyingkap tabir kesuksesan dari semacam gorengan yang popularitasnya melebihi dari gorengan-gorengan lain. Gehu pedas memang sudah menjadi primadona diantara gorengan kompetitornya karena rasanya yang pedas menggugah dan ukurannya yang memuaskan. Sehingga tidak aneh lagi jika para penjual gorengan mengistimewakan gehu pedas ini dengan harga yang sedikit lebih mahal dibanding tempe goreng, pisang goreng, bala-bala, dan lain-lain. Bahkan kini sudah bermunculan pedagang yang khusus menjual gehu pedas dengan harga yang cukup tinggi, sampai empat kali lipat harga gorengan biasa per buahnya! Dengan segala kelebihan ini penjualan gehu pedas pun melonjak sementara gorengan lain semakin tersingkir dari hati para konsumen.
     Fenomena gehu pedas ini tak jauh berbeda dengan pola kehidupan masyarakat Indonesia yang konsumtif pada umumnya dan aspek kehidupan lainnya yang terkesan ikut-ikutan. Konsumerisme yang berorientasi pada barang baru yang notabene mengikuti perkembangan zaman tampak begitu kental di sekitar kita. Apalagi dengan disetujuinya AFTA dan AC-AFTA yang menambah deretan barang baru impor dari berbagai negara memperkuat posisi Indonesia sebagai negara pasar paling menjanjikan di dunia perdagangan internasional. Mudah saja untuk membuktikan hal ini. Mari kita lihat barang-barang yang kita miliki. Mulai dari alat telekomunikasi, komputer, hingga transportasi semuanya adalah barang yang teraktual saat ini. Padahal telepon genggam yang lama masih banyak bermanfaat, komputer yang lama pun masih berfungsi, dan motor yang kita punya masih jauh dari kata tidak layak. Disinilah dibutuhkan suatu kebijaksanaan dimana kita bisa membedakan antara hal yang kita butuhkan dengan hal yang kita inginkan. Sehingga kita tidak terjebak dalam pola hidup yang hanya sekedar ikut-ikutan.

Kekuatan Indonesia

     Sebagai manusia Indonesia yang mengaku Indonesia, tentu akan terbesit dalam pikirannya untuk membalik keadaan yang sangat merugikan ini. Jika kita ingat sumber daya alam Indonesia yang sangat melimpah tentu kita akan optimis menghadapi masa depan dengan segudang mimpi dan harapan. Namun jika kita ingat kondisi sumber daya manusia Indonesia yang begitu dilematis maka mimpi dan harapan itu pun akan hangus dengan seketika. Bukan berarti manusia Indonesia itu penuh dengan kekurangan, hanya saja sebagian dari manusia Indonesia tidak menyadari kehebatan dirinya ketika menyadari identitas kebangsaannya. Dengan menyadari identitas kebangsaannya maka akan timbul kebanggaan. Dengan adanya kebanggaan maka akan timbul kepercayaan. Dengan adanya kepercayaan maka akan hadir sebuah peradaban yang amat sejahtera.
     Harus disadari bahwa di era globalisasi ini banyak negara yang berlomba untuk menyebarkan budayanya kepada warga dunia. Sayangnya kita seringkali memposisikan diri sebagaii penerima bukan penyebar. Kerendahan diri untuk berbicara bahasa Indonesia atau bahasa daerah dan rasa malu untuk mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya adalah salah satu faktor dari kemerosotan ini. Seringkali masyarakat Indonesia mengagungkan karya dan produk orang lain. Buktinya sering pula kita bersaing dengan mereka dalam bidang yang mereka kuasai seperti industri dan ekonomi. Tentu kita tak akan pernah bisa unggul dari mereka sekalipun kita berusaha seribu kali lipat dari biasanya. Manusia Indonesia perlu menyadari bahwa keunggulan itu tidak hanya terpaku pada mengalahkan lawan dalam suatu bidang, tapi unggul pun dapat diartikan melakukan sesuatu yang tidak bisa orang lain lakukan sehingga orang lain pun akan datang meminta pertolongan kita karena keahlian khusus kita.
      Bangsa Indonesia tidak perlu mengalahkan teknologi Jerman untuk unggul, tidak perlu menyaingi kecerdasan  Jepang untuk unggul, dan tidak perlu menaklukan kekuasaan Amerika Serikat untuk unggul. Tapi cukup menjadi manusia Indonesia yang bermoral serta profesional dalam menjalankan perannya. Selalu berkata jujur pada orang orang sekaligus menghindari untuk menyakiti hati orang. Dan tentunya berbangga menjadi manusia Indonesia yang berkarakter dan berkebudayaan ketimuran dan konsisten mempertahankan adat istiadat daerah kelahirannya serta ras keturunannya. 

Bias Universitas

    Sarjana adalah satu elemen masyarakat yang secara langsung menjadi motor penggerak bangsa. Oleh karena itu kualitas para sarjana akan langsung berdampak pada kondisi negara ini dan kualitas universitas akan langsung berdampak pada kondisi para sarjana. Akhir-akhir ini banyak universitas yang terkesan menjadi inkonsisten dari nama yang disandangnya. Mungkin karena tuntutan hidup universitas yang semakin tinggi membuat universitas harus mengkhianati namanya sendiri. Akibatnya banyak PTN yang kehilangan jatidirinya dan memiliki kemampuan yang sama pada umumnya PT. Keserakahan akan materi pun tidak luput dari aroma kerakusan ini yang menjadikan pelacuran sarjana dan universitas. Apapun yang diminati masyarakat maka akan dijual termasuk idealisme! Inilah saatnya membenahi diri untuk kembali pada jalan yang benar sebelum pendidikan tinggi Indonesia kehilangan arahnya sebagai lembaga pendidikan dan merubah orientasinya menjadi industri pendidikan yang berorientasi pada profit.
    Sebelum semua universitas dan institut Indonesia dirapikan nampaknya akan sulit sekali untuk merubah keadaan saat ini. Karena perguruan tinggi yang bias hanya akan menghasilkan sarjana yang bias pula. Dimana sarjana pendidikan akan menjadi wirausaha, sarjana teknik akan mengajar, sarjana pertanian akan menjadi pegawai bank, dan yang lebih parah lagi sarjana agama akan manjadi hilang karena nampaknya inilah bidang yang tidak diminati oleh mayoritas mahasiswa saat ini.    

Garuda di Dadaku

    Seyogyanya lagu “Garuda di Dadaku” ini tidak hanya sekedar nyanyian di kala timnas bermain di ajang internasional. Tapi juga sebagai acuan kita untuk menata kehidupan yang mandiri, tangguh, dan penuh dengan kemesraan antara lapisan masyarakat hingga pemerintah. Menjadi diri sendiri adalah kunci utama untuk keluar dari segala masalah ‘ikut-ikutan’ ini. Karena sebuah sekrup dalam sebuah rangkaian mesin pun akan sangat berguna dan dicari karena tak ada benda lain yang dapat menggantikan sekrup tersebut. Untuk saat ini, marilah kita awali dengan konsep “Kecil namun kuat” yang menunjukkan bahwa Indonesia ini tidak seberapa namun dibutuhkan banyak orang. Seiring berjalannya waktu dengan terus mempertahankan idealisme maka tidak mustahil jika kita akan menjadi negara adidaya yang sejajar dengan negara-negara maju.
     Keberanian untuk bermimpi pun akan hadir jika kita tahu dimana kelemahan dan kelebihan kita. Kini kita sudah tahu bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekurangan dalam hal moral dan identitas, maka seyogyanya hentikanlah menyalahkan orang lain karena masalah moral ini hanya bisa diselesaikan oleh tiap individu yang memang berniat untuk menyelesaikannya. Dengan introspeksi ini, diharapkan manusia Indonesia dapat menumbuhkan kepercayaandirinya dan terlepas dari ketergantungan bangsa lain. Akhirnya, manusia Indonesia tidak hanya menjadi konsumen setia gehu pedas, melainkan menjadi penjual baru yang menjual tempe rasa rempah, kroket pedas manis, ubi lapis oncom, dan berbagai kreasi baru lainnya yang dicari seluruh warga dunia.