Sebenarnya banyak sekali pelajaran-pelajaran yang bisa kita ambil jika memperhatikan nilai-nilai antara dua hajat besar dunia pendidikan, yaitu Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Dua kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap tahun khusus bagi siswa SMA yang akan lulus dan siswa SMA yang sudah lulus. Namun tidak bisa dipungkiri lagi, sekalipun keduanya memiliki tujuan yang searah dalam peningkatan kualitas pendidikan, keduanya memilki perbedaan yang sangat jauh jika dilihat dari respon yang ditunjukkan oleh masyarakat. Seperti yang telah diketahui pada umumnya, Ujian Nasional atau UN sangat ditentang mayoritas siswa SMA sedangkan SNMPTN mendapatkan tanggapan yang justru sebaliknya, yaitu dikejar dan diperebutkan oleh para siswa SMA. Padahal dilihat dari tingkat kesulitan soal, SNMPTN berada jauh di atas UN. Ditambah lagi peluang untuk lulus SNMPTN jauh lebih kecil daripada UN. Karena UN dapat meloloskan 100% pesertanya sedangkan SNMPTN tidak. Jadi apakah ada yang salah dengan SNMPTN? Atau apakah UN memang seharusnya ditiadakan?
Resiko
Setiap perbuatan yang dilakukan tentunya mengandung berbagai resiko yang harus diterima. Inilah sebenarnya akar utama dari permasalahan ini. Resiko yang harus diterima oleh setiap siswa yang mengikuti UN sangat besar dan tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Bisa dibayangkan, usaha seorang siswa untuk mendapat peringkat pertama selama tiga tahun berturut-turut setiap semesternya menjadi tidak berarti sama sekali karena tidak lulus salah satu mata pelajaran dalam UN. Tentu saja siswa tersebut akan kecewa dan putus asa atau bahkan bersikap destruktif atas ekspresi dari kekecewaannya itu. Di sisi lain, sesosok makhluk yang bernama SNMPTN datang menjelma sebagai seorang “dewi keberuntungan” bagi para siswa SMA. Pasalnya, hanya dengan modal Rp 175.000,- seorang peserta SNMPTN mendapat kesempatan untuk bisa duduk di bangku kuliah PTN impiannya. Jika gagal, peserta tersebut tidak akan terlalu rugi, disamping rasa malu yang tidak terlalu besar, biaya yang telah dikeluarkan pun jauh lebih kecil dibanding mereka yang mengikuti seleksi jalur khusus.
Dari penjelasan yang telah diuraikan, semakin jelas bahwa kedua jenis ujian ini memiliki karakter yang sangat berbeda. Jika dianalogikan, UN adalah seorang guru yang lebih senang menghukum muridnya untuk belajar lebih keras. Sedangkan SNMPTN diibaratkan sebagai seorang guru yang lebih cenderung untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya untuk memotivasi muridnya belajar. Sehingga wajar saja tanggapan para siswa sangat buruk terhadap UN dan baik terhadap SNMPTN bahkan menjadikannya orientasi dalam belajar.
Seharusnya pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional lebih peka terhadap permasalahan ini. Tidaklah salah mengambil kebijakan untuk menetapkan adanya ujian ulang bagi yang belum lulus. Namun alangkah lebih baik lagi jika prestasi siswa selama 3 tahun kebelakang diperhitungkan juga dalam kelulusan. Agar keringat yang telah mereka peras tidak hanya menjadi kenangan manis belaka. Setidaknya rancanglah sebuah sistem penilaian dimana nilai rapor bisa berpengaruh terhadap nilai ijazah. Sehingga para siswa akan belajar dengan sungguh-sungguh sejak pertama masuk SMA.
Mental Kompetitor
Selain resiko, masih ada akar permasalahan lain yang menjadi salah satu faktor utama, yaitu kesiapan mental. Sebaik apa pun sistem yang dibuat tak akan pernah baik jika objek yang dikenainya belum siap secara fisik maupun mental. Pada hakikatnya, SNMPTN dan UN memiliki sistem yang sama-sama baik dan seimbang. UN dengan resikonya yang tinggi memiliki kualifikasi yang rendah dan SNMPTN dengan “hadiah” yang menggiurkan dengan kualifikasi yang lebih tinggi. Hanya saja perlu diketahui, bahwa siswa kita belum siap untuk mengambil resiko yang begitu besar. Maka dari itu, proses kegiatan belajar mengajar (PBM) di kelas tidak hanya diarahkan kepada tujuan akademis, tapi juga diarahakan kepada tujuan psikis agar siswa menjadi pribadi yang tangguh dan berani mengambil resiko. Sehingga para siswa menganggap UN seperti menganggap SNMPTN, bukan sebagai kewajiban tapi sebagai pilihan yang harus dijalani sepenuh hati. Pada posisi inilah kehadiran seorang guru profesional dibutuhkan. Mengutip perkataan M.Sobry Sutikno dalam bukunya “Belajar dan Pembelajaran” dikatakan bahwa,” Motivasi merupakan kekuatan dahsyat yang dapat menuntun Anda menggapai sukses. Orang yang tidak memilki motivasi belajar dalam dirinya, maka hadirnya guru profesional (sebagai motivator dari luar) sangat diperlukan.“
Oleh karena itu, kualifikasi guru sebagai pendidik sangat menentukan. Sekali lagi, ini adalah tugas pemerintah sebagai pemegang kewenangan dalam menyeleksi guru yang berkualitas. Pemerintah harus bisa membedakan antara guru yang hanya sekedar “7P” (Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan Pas-Pasan) dan guru yang serius menghayati profesinya sebagai ujung tombak pendidikan nasional. Karena guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan belajar yang baik. Keberhasilan ini bergantung pada upaya guru membangkitkan motivasi belajar siswanya. Dengan begitu, diharapkan tak aka nada lagi sikap “pilih kasih” siswa terhadap UN dan SNMPTN.
Perbaikan
Ketimpangan respon terhadap UN dan SNMPTN seyogyanya menjadi bahan pembelajaran kita bersama. Ini bukan tentang pemerintah saja, tapi juga tentang orang tua, siswa, guru, dan setiap elemen pendidikan nasional untuk bersinergi membangun pendidikan nasional dari hal yang kecil. Karena langkah pertama mencapai keberhasilan adalah melakukan suatu pekerjaan kecil dengan sebaik-baiknya dengan cara yang benar, hingga keberhasilan dapat tercapai. Setelah itu lakukanlah pada hal-hal yang besar. Kesimpulannya, tidaklah sulit membuat seorang siswa untuk lulus UN dan SNMPTN, namun yang sulit adalah bagaimana membuat siswa tersebut sadar akan kebutuhan belajar dan menciptakan pribadi yang berani mengambil resiko dan resistan terhadap berbagai tingkatan kegagalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar